WELCOME TO THIS BLOG!!. PLEASE ENJOY THE MENU HAS BEEN PROVIDED

Rabu, 15 September 2010

cerpen islami

Impian Dalam Naungan Ridha Ilahi
Lubis Muzaki
Di kota paling timur Pulau Jawa, Muncar Banyuwangi, terdapat pesantren dan sekolah formal mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berada di Yayasan Minhajut Thullab. Salah satu siswa SMA berkulit putih, memakai songkok hitam, Amin, duduk sebangku bersama dengan temannya, Arby. Mereka berdua tidak pernah berpindah-pindah tempat duduk, mereka memegang teguh salah satu adab belajar yang terdapat di dalam kitab Tanbihul Mut’allim. Mereka dan teman-teman sekelasnya sedang memperhatikan penjelasan mengenai keajaiban matematika yang disampaikan oleh bapak Fauzi, seorang guru matematika. Beliau mampu menghubungkan matematika dengan filsafat Islam yang selalu disampaikan kepada siswa-siswinya setelah selesai membahas materi dan soal yang diajukannya. Hal itulah yang menambah “gregetan” anak didiknya, apalagi beliau selalu memotivasi siswanya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Saking heran dan takjubnya Amin dan Arby itu hanya bisa menggeleng-nggelengkan kepala mendengar penjelasan dari beliau.
Thet, thet, thet!. Bel sekolah berbunyi tiga kali, tanda waktu pulang sekolah sudah tiba. Siswa yang tinggal di pesantren dan sebagian dari anak kelas XII yang rumahnya lumayan jauh dengan sekolah langsung ke pesantren untuk segera menjalankan ibadah shalat dhuhur berjama’ah, tak terkecuali dengan Amin dan Arby yang tinggal di pesantren. Setelah shalat dhuhur mereka harus mengikuti bimbingan Ujian Nasional (UNAS) yang kurang tiga minggu itu.
Di pesantren, Amin sering kali sharing mengenai masalah agama dengan salah satu santri diniyyah, Kang Najib panggilannya. Karena ia baru saja lulus Madrasah Aliyah (MA), maka keduanya sangat klop ketika membahas masalah-masalah yang berkaitan sekolah ataupun masalah agama. Amin berbagi cerita mengenai kebimbangannya untuk menentukan jurusan kuliah yang ingin ia pilih.
“Gimana ini Kang? Aku ingin memilih jurusan dalam bidang kesehatan, yang jelas bukan jurusan kedokteran. Kalau kedokteran bisa-bisa sawah, rumah beserta isinya akan terjual untuk membayar seluruh biaya masuk kuliah kedokteran, belum lagi biaya praktikumnya. Lagi pula aku takut dengan jarum suntik, dan peralatan kesehatan lainnya, jadi apa yang cocok jurusan kesehatan buatku Kang?”. Tanya Amin ke Kang Najib dengan kepercayaan diri yang rendah.
“Ingin jurusan kesehatan tapi takut dengan jarum suntik, aduuh...! Kalau nanti kamu sudah jadi mahasiswa bakal terbiasa dan jadi makanan sehari-hari. Kalau sudah terbiasa, enak-enak pasti dijalani!. Aku dulu juga pengen jurusan kesehatan, kedokteran, tapi apa boleh buat Abiku nyuruh mondok. Ya udah sami’na waatho’na semoga ini jalan terbaik buatku”. Jawab Kang Najib.
“Amin ya rabbal ‘alamin semoga sampean menjadi panutan umat. Ntar-ntar aku bayangin dulu jika sampean jadi dokter. Aaaah enggak pantes, hehehe ”. Jawab Amin. Memang mereka berdua seringkali bercanda.
“Aku tahu jurusan kesehatan yang tidak membuat kamu takut pastinya. Jurusan mengurus penderita sakit jiwa, mulia banget itu, pasti pahalanya besar sekali ”. Canda Kang Najib kepada Amin.
“Hemm… kamu itu, bisa-bisa aku nanti ketularan gila, kan aku disini udah agak gila, gila ma ilmu pengetahuan, hehehe ”. Jawab Amin dengan narsisnya.
“Ada jurusan farmasi”, lanjut Kang Najib menjelaskan hal itu kepada Amin.
“Oo iya!, betul, betul ,betul. I like it. Makasih Kang Najib”. Jawab Amin dengan senyuman khasnya. Amin langsung turun ke bawah kembali ke gota’annya .
“Besok setelah shubuh aku sorogan , wah harus belajar ni!”. Bicara Amin dalam hati sambil duduk bersenden di tembok gota’annya. Sebelum dibacakan oleh KH Afandi yang mengajar sorogan, Amin sudah belajar lebih dulu supaya lebih mudah memahami ketika beliau menjelaskan besok shubuhnya. Dibukanya kitab ta’limul muta’allim terjemahan yang memakai bahasa jawa dengan tulisan pegon . Pada halaman 10-12 dalam pasal 1 mengenai hakekat ilmu dan ilmu fiqih serta keutamaannya, ia membaca dengan suara yang lantang, supaya mudah cepat dihafal, lagian waktu itu tidak ada teman yang ada didekatnya, jadi tidak ada yang merasa terganggu.
Hujan deras mengguyur pelataran pesantren. Angin yang membawa air hujan membuat percikan-percikan air menempel di dinding-dinding serambi masjid. Dingin sekali. Namun aktivitas setelah shalat shubuh di pesantren tetap berjalan normal seperti biasanya. Amin sorogan, tak ada yang salah. Kemudian KH Afandi menjelaskan untuk sorogan besoknya kepada Amin, “Al ‘ilmu ‘ilmani, ‘ilmul fiqhi lil adyaani wa ‘ilmuthibbi lil abdaani, wa maa wara a dzalika bulghotu majlisin yang artinya ilmu itu ada dua yaitu ilmu fiqih untuk ibadah dan ilmu kedokteran untuk keperluan kesehatan badan, sedang ilmu lainnya hanya sebagai pelengkap”. Inilah kalimat Imam Syafii dalam Kitab Ta’limul Muta’allim. Agama Islam sudah lebih dahulu menjelaskan masalah kesehatan, yang sudah terangkum dalam kitab Thibbun Nabawi karangan Ibnu Qayyim, Amin disuruh mengaji kitab tersebut. Beliau berharap, setelah lulus SMA, Amin mengambil jurusan kesehatan dan jangan lupa mondok juga. Jangan sampai ilmu agama tidak dipelajari.
Seusainya sorogan Amin duduk-duduk di gota’an membaca ulang apa yang telah dijelaskan oleh KH Afandi. Amin jadi tambah semangat ingin sekali kuliah di jurusan farmasi. Sambil membaca kitabnya, sesekali Amin mengetik SMS untuk kakaknya, Mas Afif. Amin ingin bertanya mengenai jurusan farmasi.
Amin mengirim SMS: “Assalamu’alaikum Mas, aku pengen kuliah di jurusan farmasi. Gimana menurut sampean?”.
Mas Afif menjawab SMS: “Wa’alaikumussalam, Jangan di farmasi, mahal banget dek”.
Amin mengirim SMS : “Waduh, gimana ni aku jadi bimbang lagi, aku mantepnya itu ya Mas? Kita sekeluarga mampu kalau berusaha, dan aku yakin mampu mendapatkan beasiswa”.
Mas Afif menjawab SMS : “Sampaen bilang ke bapak langsung saja”.
Amin mengirim SMS : “Ya Insya Allah besok lusa, aku berencana pulang besok lusa. Soalnya pengumuman UAN-nya masih minggu depan, aku minta doanya Mas”.
Mas Afif menjawab SMS: “Ya, semoga lulus dan mendapatkan nilai yang bagus”.
“Amin ya rabbal ‘alamin”, Jawab Amin dalam hati karena pulsanya hampir habis.
Seminggu kemudian, tepatnya pada hari ahad Amin pulang ke rumah. Dan besok Senin pukul delapan lebih tiga puluh menit ia harus ada di sekolah untuk melihat hasil UAN. Setibanya di rumah, Amin menjelaskan keinginannya untuk masuk jurusan farmasi kepada kedua orang tuanya. Walaupun awalnya orang tua Amin tidak menyetujui jika ia kuliah di fakultas farmasi karena biaya yang sangat tinggi, mulai dari registrasi, praktikum dan sebagainya, akan tetapi akhirnya beliau berdua mengizinkan kalau ia boleh mengambil jurusan farmasi. Memang kedua orang tua Amin berprinsip, “Anakku harus lebih hebat daripada aku”. Semalaman Amin tidak bisa tidur, memikirkan bagaimana hasil kelulusan besok. Ia bergegas mengambil air wudhu’ dan selanjutnya shalat hajat memohon diberi ketenangan, dan berharap seluruh siswa bisa lulus.
Amin berangkat jam tujuh pagi, karena lumayan jauh jarak antara sekolah dengan rumahnya. Apalagi ditambah jalanan yang becek karena semalaman diguyur hujan menambah sulitnya perjalanan yang ia tempuh. Amin berpamitan kepada ibu bapaknya. Dan tak lupa mencium tangannya sebagai tanda birrul walidain .
“Semoga bisa lulus nak, sudah belajar selama 3 tahun, 3 tahun bukanlah waktu yang singkat. Semoga hasilnya memuaskan, kamu bisa lulus”. Ibu Amin mendoakan.
Amin yakin doa kedua orang tua mudah dikabulkan oleh Allah, sesuai hadis Nabi Muhmmad SAW, ridlollahi fi ridlol walidain wa sukhtullahi fi sukhtil walidain, yang artinya Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua dan murkanya Allah tergantung murka kedua orang tua. Walaupun pengumuman dari pusat sudah keluar dan tidak mungkin dapat diubah, namun hal itu mampu menenangkan hati dan pikirannya. Ikhtiar sudah dijalankan dan doa sudah dipanjatkan, tinggal bertawakal, berserah diri kepada Allah.
Setibanya di pesantren, Amin bergegas menuju asrama, di gota’an tak ada satu pun santri, karena santri diniyyah (santri yang hanya mondok, tidak sekolah formal) pada jam-jam segitu wajib sekolah diniyyah, adanya cuma Roni anak kelas XI SMA. Memang untuk kelas X dan XI diliburkan.
“Ya sudah Ron, aku ke Arby dulu mau ke sekolahan, liat pengumuman kelulusan. Ini ada oleh-oleh dari rumah, silahkan sampean makan”.
“Assalamua’alaikum, jangan lupa doakan aku ya Ron!”. Pamit Amin.
“ Wa’alaikumussalam, semoga lulus 100%. Makasih kuenya”. Jawab Roni.
“Arby, by ini aku Amin!”, panggil Amin dengan suara yang keras, karena gota’an Arby berada di lantai dua. Sudah 3 kali Amin memanggilnya, turunlah Amir teman satu gota’an Arby.
“Arby masih mandi, itu di kamar mandi nomor dua dari barat. Mau lihat pengumuman UAN ya? Kalau ingin lulus perbanyaklah bershadaqah, apalagi shadaqah ke aku, hehehe . Kan, asshadaqatu lidaf’il bala’, shadaqah itu menolak bala”.
“Ya insya Allah Mir, nanti aja sesudah pengumuman kelulusan, insya Allah jam sembilanan. Aku tak menyusul Arby dulu Mir, supaya dia cepat kelar mandinya”.
“Arby, by, ayo cepetan! Dalam kamar mandi, jangan ngomong dan nyayi terus!, udah ngaji fiqih Mabadi mengenai adab-adab di dalam kamar mandi gitu”. Panggil Amin kepada Arby yang masih enak-enak mandi sambil bernyanyi.
“Ya ntar hampir selesai ni, tinggal pakai handuk”. Jawab Arby dengan bersamaan keluarnya suara dari percikan air yang melewati lubang kran, menetes ke lantai.
Arby keluar dengan mata suntuk. Tadi malam pukul 00:00 WIB santri kelas XII SMA dikumpulkan semua oleh Gus Syifa’ di Aula Madrasah Ibtidiah (MI). Hasilnya pesantren putra dari 35 siswa, yang tidak lulus ada 2, satu dari program jurusan IPA dan satunya IPS. Sedangkan dari pesantren putri dari jumlah 48 siswi, yang tidak lulus 3 anak. Semuanya dari program IPS. Arby belum tahu siapa saja yang tidak lulus.
“Gimana kita by, lulus kan?”. Tanya Amin dengan heboh setelah Arby menjelaskan apa yang terjadi semalam.
“Alhamdulillah kita lulus”. Jawab Arby.
“Semoga mereka yang tidak lulus diberi ketabahan dan begitu juga bapak ibunya, sabar menghadapi cobaan yang diberikan kepada anaknya. Semoga hal itu merupakan suatu kesuksesan yang tertunda”. Berdoa dan rasa tanggap Amin dengan wajah yang merah setelah selesai sujud syukur.
“Alhamdulillah Amin lulus, aku jadi kamu traktir gak ni? Udah nadzar lho?. Sambung Amir.
“Ya Mir, tak kasih uang ni ya, kamu beli sendiri. Aku gak enak dengan teman-teman Mir, masak temannya dapat cobaan malah kita enak-enak makan bersama”.
“Yaach Min, gak seru. Tapi Oke dah, makasih Min. Kalau gitu aku duluan ke Ibu Siti mau beli sarapan, perutku udah laper banget”. Jawab Amir.
Arby sudah siap, dari tadi dia sudah ganti baju ketika Amin dan Amir saling berbicara. Mereka berangkat bersama ke sekolah untuk mengambil amplop yang berisi lulus atau tidak lulus, meskipun sebelumnya mereka berdua sudah tahu kalau lulus. Setibanya di sekolah seluruh siswa berbicara mengenai kelulusan, mereka belum tahu jumlah keseluruhan siswa yang tidak lulus, begitupun Amin dan Arby. Setibanya di kantor sekolah, Amin dan Arby berjabat tangan kepada semua bapak dan ibu guru. Seuasi mengambil amplop dan membukanya, mereka segera berpamitan kepada seluruh guru yang ada di kantor. Amin dan Arby keluar dari kantor sekolah.
“ Gimana rek ? Lulus, kan?”. Tanya Hane dan Susan teman sekelasnya..
“Alhamdulillah kami berdua lulus”. Jawab Amin
Susan tersenyum Sambil bertanya, “Rencananya mau ambil jurusan apa?”.
“ Aku ingin jurusan farmasi”. Jawab Amin penuh dengan keyakinan.
“Kalau aku ingin ngelanjutin ke Bahasa Inggris, entah itu pendidikan Bahasa Inggris atau Sastra Inggris, aku ingin jadi Presiden Amerika Serikat atau menjadi da’i yang hebat berbahasa Inggris sehingga bisa menceramahi turis-turis di Indonesia, hehehe ”. Celoteh Arby ke teman-temannya.
“Hane dan Susan, kalian berdua Mau ambil jurusan apa?”. Tanya Amin.
“Kami berdua mau jadi tenaga kesehatan, kebidanan”. Jawab susan.
“oooh bagus itu, nanti kita bisa bekerja sama, hohoho”. Jawab Amin.
“Ya sudah rek kita duluan”. Lanjut Amin berpamitan.
Amin berhenti di gang sempit dekat toilet sekolah, tak sabar untuk segera menghubungi bapaknya guna memberi kabar kalau dia lulus. Rasa syukur tiada henti-hentinya diucapakan oleh bapaknya ketika mengetahui anaknya lulus. Setelah menghubungi bapaknya, Amin lansung berniat untuk pulang dan kembali lagi untukmint izin boyong ke pengasuh dan kantor pesantren sekaligus mengambil ijazah di sekolah. Selama di rumah, Amin belajar soal-soal tes masuk perguruan tinggi negeri punya kakaknya. Ia tidak ikut bimbingan masuk perguruan tinggi karena pengeluaran biayanya besar sekali. Mahal bagi orang tuanya.
Setelah satu minggu berlalu, Amin dan kedua orang tuanya berangkat ke ndalem pengasuh. Amin berpamitan dulu ke teman-temannya, tidak ketinggalan Kang Najib. Kang Najib berharap semoga Amin bisa meraih cita-citanya. Amin berpamitan ke teman-teman satu gota’an sekaligus mengambil kitab-kitab yang ada di gota’annya. Guyonan-guyonan di pesantren pasti tidak akan terlupakan oleh Amin dan teman-temannya..
“Assalamu’alaikum teman-temanku, gimana kabar kalian semua? ”.
“Wa’alaikumussalam, alhamdulillah Khoir-khoir . Gimana kabar Kang Am sendiri?”. Jawab sekaligus bertanya santri segota’an.
“Alhamdulillah baik”. Jawab Amin.
“Mau ngelanjutin kuliah ke mana Kang Am? Jurusan apa?” Tanya Roni.
“Mau ambil jurusan farmasi di Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Jember, tinggal diterima dimana, minta doanya ya. Wah, aku harus segera ke ndalem untuk pamitan. Di sini kan tujuan Amin pamitan, aku minta maaf atas tingkah laku dan perkataanku yang kurang sopan ya rek? ”.
“Sama-sama, kalau kami mempunyai kesalahan juga minta maaf yang sebesar-besarnya Kang Am”. Jawab Roni mewakili teman-temannya.
“Ok, belajar yang rajin, kalau ada teman yang ngethol , jangan pelit-pelit untuk ngasih, hehehe . Assalamu’alaikum”. Itulah pesan yang diucapkan oleh Amin.
Setelah selesai di ndalem Abah Hakim., Amin dan kedua orang tuanya melanjutkan ke KH Afandi, pesan-pesan beliau yang selalu teringat di dalam otaknya membuat Amin meneteskan air mata. Ketika doa dipanjatkan oleh KH Afandi, entah apa yang dirasakannya waktu itu, ia bertambah berlinang air mata. KH Afandi bercerita langsung bahwasannya mencari anak seperti Amin itu sulit pada zaman sekarang, ia mengikuti sekolah formal akan tetapi mampu mengikuti sorogan dan ngaji-ngaji tambahan lainnya, rasa kehilangan memang sangat terasa pada waktu itu. Mungkin hal itulah yang dirasakan oleh Amin. Amin sangat berharap ilmu agama jangan sampai dinomor duakan. Setelah Amin menghapus air matanya, ia dan kedua orang tuanya berpamitan ingin ke kantor pesantren guna menyelesaikan administrasi yang belum dilunasi. Semuanya sudah selesai, Amin dan Arby berencana ke Jember bersama untuk mengikuti ujian Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Tiga minggu sudah berlalu, mereka berdua sudah siap untuk menghadapi ujian. Di pagi hari, satu hari sebelum ujian, Amin dan Arby berangkat ke Jember. Dan tinggal di pesantren Mas Afif. Setibanya, mereka berdua harus minta izin di kantor pesantren untuk menginap selama 3 hari. Hari senin yang telah dinanti-nantikan akhirnya tiba juga. Amin dan Arby berangkat ke kampus. Mereka terpisah, Arby ujian di Fakultas MIPA sedangkan Amin ujian di Fakultas Pertanian. Jantungnya tak henti-hentinya berdetak kencang ketika melihat gedung-gedung menjulang tinggi, apalagi Amin belum melihat ruangan ujian sebelumnya. Di dalam ruangan, Amin berdoa terus-menerus supaya ia merasakan ketenangan. Amin sangat berhati-hati dalam menyelesaikan soal, karena jika salah nilainya minus satu. Hari kedua ujian, Amin lebih merasa tenang.
Pengumuman hasil ujian masih satu bulan lagi, Amin berencana pulang besok pagi. Amin masih ingin istirahat. Sedangkan Arby sudah pulang lebih dulu. Saat itulah, detik-detik yang sangat berat, yang dialami oleh Amin dan Arby, sahabat sejati yang harus berpisah demi melanjutkan studinya, Arby mengambil keseluruhan pilihan jurusannya di Universitas Negeri Surabaya, kota asal Arby.
Sebulan telah berlalu. Sekitar pukul tujuh pagi, Amin mendapatkan SMS dari Arby, “Pegumuman SNMPTN sudah ada. Alhamdulillah aku lulus di Sastra Inggris Min, gimana kamu udah lihat? Semoga lulus dan apa yang kamu cita-citakan tercapai Min”. Amin membaca satu kali SMS yang masuk di inbox handphonenya.
Waktu itu Amin dengan ibunya bergegas melihat pengumuman SNMPTN di warnet yang lumayan jauh dari rumahnya, sekitar 1 kilometer. Setibanya di warnet, ibunya sudah tidak sabar, beliau heboh sendiri, sangking hebohnya, Amin jadi takut untuk mengetik nomor pesertanya.
“Cepat ketik nak, ibu penasaran banget ni! Doa dulu nak!”. Ibu Amin heboh dan mengingatkan untuk selalu berdoa jika akan mengawali sesuatu. Amin dan ibunya pun berdoa bersama-sama, Amin mengetik nomor ujiannya dan hasilnya, “Maaf, nomor peserta 310-82-070305192 tidak diterima”. Amin dan ibunya langsung lemas.
“Sudahlah nak, ini mungkin bukan rejeki kamu!”. Ibu Amin menenangkan Amin.
Amin tidak menyangka sekali. Apa yang diinginkannya, dan diharapkan oleh KH Afandi, bapak, ibunya harus kandas. Ia hanya bisa berharap kepada Allah, apa yang harus ia lakukan setelah hal itu menimpanya. Ia sempat berpikir untuk berhenti satu tahun. Tapi Mas Afif merasa kasihan jika Amin berhenti satu tahun, akhirnya ia didaftarkan sebagai peserta Ujian Masuk (UM) II di Universitas Jember. Rencana untuk mengambil jurusan farmasi pun gagal, ia harus merelakannya, karena biayanya lebih tinggi daripada lewat jalur SNMPTN. Ia mengambil jurusan Pendidikan Matematika yang masih terjangkau biaya perkuliahannya. Ia berharap ingin menjadi guru matematika seperti bapak Fauzi, yang tak pernah lelah membimbing murid-muridnya supaya menjadi orang-orang yang berhasil. Ia ingat sekali isi buku La Tahzan karya DR. ‘Aidh Al-Qarni bahwasannya Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Nilai setiap orang itu adalah kebaikan (yang dilakukan)nya. Nilai seorang farmasis adalah ilmu kesehatan dan ilmu kimianya yang akan bermanfaat bagi orang lain untuk menyembuhkan penyakit. Nilai seorang guru adalah bagaimana ia mampu menjadikan anak didiknya menjadi pribadi yang unggul. Amin tetap semangat dan mensyukuri nikmat. Tak lupa Amin mengucapkan ucapan selamat untuk sahabat sejatinya, Arby.

Related Post



0 komentar: