Pendidikan merupakan kunci utama dalam
peningkatan sumber daya manusia (SDM). Dengan pendidikan yang baik dapat
dibentuk SDM yang berkualitas. Salah satu pentingnya pendidikan adalah untuk
menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dengan
pendidikan yang baik, maka kita akan lebih mudah mengikuti perkembangan IPTEK.
Pembaruan-pembaruan di bidang
pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
nasional. Salah satunya adalah pendidikan matematika, yang memiliki peranan
sangat penting untuk semua bidang ilmu terutama sains dan teknologi.
Namun sampai saat ini mutu pendidikan
di Indonesia belum memberikan hasil yang memuaskan. Masih banyak peserta didik
yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran matematika. Hal ini dapat
dilihat dari realitas di lapangan yang menunjukan bahwa rata–rata NEM
matematika untuk semua jenjang pendidikan masih dibawah 6,0 (Pambudi, 2005:280).
Selain itu juga dijumpai adanya siswa yang mempunyai nilai tinggi, namun tidak
dapat menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari–hari. Dalam kenyataannya banyak
siswa yang hanya menghafal tanpa memahami pelajaran dengan betul, siswa kurang
dilatih untuk berfikir.
Banyak sekali faktor yang menjadi
penyebab rendah atau kurangnya pemahaman peserta didik terhadap pelajaran
matematika. Menurut Sunardi (1998:354) diduga
penyebabnya adalah model atau metode pembelajaran yang digunakan guru
kurang sesuai, alat evaluasi yang kurang baik dan materi yang diberikan kurang
sesuai dengan tingkat berfikir siswa. Sedangkan Freudental (dalam Suharta,
2001:2) berpendapat bahwa, bila anak belajar matematika terpisah dengan
pengalaman mereka sehari-hari maka akan cepat lupa dan tidak dapat
mengaplikasikan matematika. Jenning, dkk (dalam Suharta, 2001:1) mengatakan,
kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika mereka ke
dalam situasi kehidupan real. Guru dalam pembelajarannya di kelas kurang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan mengkonstruksikan
sendiri ide-ide matematika.
Selama ini pembelajaran matematika
hanya dijadikan tempat mengaplikasi- kan konsep. Di sekolah, dalam pembelajaran
matematika, siswa hanya diajarkan teori/definisi/teorema, kemudian diberikan
contoh–contoh, dan selanjutnya diberikan soal latihan, sehingga pengertian
siswa tentang konsep sangat lemah dan sering kali siswa mengalami kesulitan
matematika di kelas. Selain itu, urutan pembelajaran seperti di atas dirasa
kurang sesuai dengan perkembangan intelektual siswa, karena pada umumnya
perkembangan intelektual siswa berkembang dari konkret ke abstrak (Soedjadi,
2001:1)
Dari hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa materi pecahan merupakan materi yang dianggap sulit oleh siswa (Suharta,
2001:1). Padahal pecahan merupakan materi matematika yang sangat penting,
karena merupakan dasar dalam belajar matematika lebih lanjut, serta banyak
digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam bidang yang lain.
Agar belajar siswa lebih bermakna,
guru dalam pembelajarannya di dalam kelas hendaknya memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkonstruksikan kembali ide-ide matematika. Agar anak
tidak lupa dan dapat menyelesaikan matematika, maka dalam pembelajaran
matematika tidak terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari. Gravamaijer
(dalam Sugiarti, 2001:1) berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas
manusia, sehingga siswa harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
melakukan reinvent (penemuan) terhadap objek-objek
matematika. Kegiatan ini akan dapat dilakukan bila materi matematika yang
dipelajari siswa bertitik tolak dari situasi dunia nyata atau sesuai dengan
konteks pikiran/benak siswa (realistik).
Qomaria (2005:34) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik dalam pembelajaran luas dan
keliling segitiga efektif diterapkan di sekolah. Hal ini dapat dilihat dari
tingginya persentase aktivitas siswa maupun aktivitas guru selama kegiatan
pembelajaran berlangsung, dimana rata-rata persentase aktivitas siswa mencapai
83,70%, rata-rata aktivitas kelompok sebasar 86,11%, dan rata-rata persentase
aktivitas guru sebesar 88,89%. Adapun aktivitas siswa yang diperhatikan,
meliputi aktivitas dalam bertanya, pengerjaan tugas, bekerja kelompok,
perhatian terhadap pelajaran, presentasi dan diskusi. Selain itu pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan matematika realistik pada pembelajaran luas dan
keliling segitiga dikatakan tuntas secara klasikal dengan persentase ketuntasan
hasil belajar siswa secara klasikal sebesar 84,44%.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam pembelajaran matematika di
kelas, penekanan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak
sehari-hari dan menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak
pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain, sangat penting dilakukan.
Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada
pematematisasian pengalaman sehari-hari adalah Realistics Mathematics Educations (RME) atau sering dikenal dengan
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
1 komentar:
ini kualitatif ya bang??
Posting Komentar