*oleh Diyah Ayuning Tyas, Guru SD Muhammadiyah 9 Malang
Saat mendengar kata matematika, yang terbayangkan adalah
pelajaran yang berisi hitung-menghitung sesuatu yang abstrak. Hal tersebut
berdampak pada minat belajar peserta didik yang kurang begitu antusias untuk
mempelajari matematika. Andaikan matematika bukanlah mata pelajaran yang
diujikan pada Ujian Sekolah (US) dan Ujian Nasional (UN), maka nasib matematika
barangkali tidak sebaik saat ini.
Belajar matematika sesungguhnya bukan hanya belajar angka,
bilangan, dan rumus. Konsep-konsep pembelajaran dalam matematika sejatinya
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi belajar matematika bukan
lagi belajar sesuatu yang abstrak, imajiner, dan khayal. Belajar matematika
merupakan belajar sesuatu yang konkrit dan dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Salah satu contoh konkritisasi pembelajaran matematika adalah
pembelajaran kompetensi debit (kelas VI). Peserta didik tidak hanya belajar
bagaimana menghitung debit cairan, volume air, dan waktu, namun dapat
menggunakan untuk menghitung berapa jumlah air yang dialirkan suatu bendungan
tiap menit. Pembelajaran semacam itu membutuhkan kreatifitas guru untuk menarik
pola fikir peserta didik dari zona abstrak menuju zona konkrit.
Salah satu cara untuk menghubungkan antara konsep yang
dipelajari dengan aplikasi di dalam kehidupan sehari-hari perlu adanya alat
atau media. Media yang dimaksud merupakan representasi terhadap aplikasi konsep
yang dipelajari di dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan media diharapkan
dapat mempermudah peserta didik memahami konsep dalam pembelajaran matematika
sehingga tidak lagi bersifat abstrak, imajiner, dan khayal.
Realisasi konsep pembelajaran matematika oleh para ahli
dinamakan Pembelajaran Matematika Realistik. Matematika realistik dapat
dilakukan oleh semua pembelajar matematika baik guru, orang tua, lembaga
bimbingan belajar, dan sebagainya.
Pembelajaran matematika realistik dibedakan menjadi 4 tahap
(Yuwono, 2006). Tahap pertama, memahamkan kompetensi yang akan dipelajari
dengan cara mengkonkritkan konsep. Tahapan ini dapat dilakukan dengan
menjelaskan tujuan dan manfaat kegiatan pembelajaran kepada peserta didik.
Tahapan kedua, menyelesaikan masalah. Langkah ini dilakukan
peserta didik setelah memahami masalah. Untuk menyelesaikan masalah
kontekstual, perlu digunakan model berupa benda manipulatif, skema, atau
diagram untuk menjembatani kesenjangan antara konkret dan abstrak atau dari
abstraksi yang satu ke abstraksi lanjutannya.
Langkah yang ketiga adalah membandingkan dan mendiskusikan
masalah. Langkah ini merupakan tempat peserta didik berkomunikasi dan
memberikan sumbangan gagasan kepada peserta didik lain. Sumbangan atau gagasan
peserta didik perlu diperhatikan dan dihargai agar terjadi petukaran ide dalam
proses pembelajaran. Peserta didik memproduksi dan mengkonstruksi gagasan
mereka, sehingga proses pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif. Proses
pembelajaran menjadi interaktif karena peserta didik dengan peserta didik dan
peserta didik dengan guru mengadakan pertukaran gagasan.
Langkah yang ke empat adalah menyimpulkan. Langkah ini
merupakan tempat peserta didik dan guru membuat kesepakatan untuk sampai pada
konsep atau algoritma. Peserta didik diminta membuat kesimpulan secara mandiri
tentang apa yang telah dikerjakan pada masalah sebelumnya. Jika peserta didik
gagal, guru perlu mengarahkan ke arah kesimpulan yang seharusnya. Dalam langkah
ini juga terjadi interaksi antara peserta didik dengan peserta didik dan peserta
didik dengan guru.
Pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang mudah dan
menyenangkan. Begitulah kesan yang akan didapatkan oleh siswa setelah
melaksanakan pembelajaran matematika realistik. Peserta didik akan selalu
mendapat pengetahuan baru dengan pengalaman yang menyenangkan dan bermakna.
0 komentar:
Posting Komentar