WELCOME TO THIS BLOG!!. PLEASE ENJOY THE MENU HAS BEEN PROVIDED

Senin, 26 Desember 2011

Kualitas Keimanan


Banyak kebanyakan kita memaknai keimanan dengan mengucapkan rukun iman dan islam secara ferbal, dan diyakini dalam hati serta dilakukan daam praksis kehidupan. Seharusnya kualitas keimanan tidak hanya diukur secara formalitas belaka, akan tetapi ada langkah konkrit untuk memerangi kedhaliman dan menolong yang lemah, baik lemah dalam keimanannya, lemah akalnya, lemah akan kepemilikan harta.
“kefakiran itu dekat dengan kekafiran”.
Hadits Muhammad tersebut sering diinterpretasikan bahwa dengan kekurangan harta benda maka seseorang dengan mudah bisa 'melepas' keimanannya. Sebuah interpretasi yang memang bersudut pandang kondisi 'sebenarnya', de facto. Dimana kondisi keterjepitan ekonomi bisa membuat seseorang menggadaikan keimanannya. Hal inilah yang seharusnya perlu direnungi oleh umat muslim, dimana banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan.
Iman yang dipraktekan oleh nabi Muhammad SAW tanpa bentuk kompromi apapun. Yang miskin, lemah, yatim selalau menjadi prioritas dalam mendistribusikan kekayaan. Dalam konteks ini, kaitannya dengan Indonesia, umat islam ditegaskan agar mendistribusikan sebagian harta kekayaannya menjadi hak orang lain.
Sekali lagi, iman bukan hanya ferbal memberikan penyaksian akan keberadaan Allah. Namun pada saat yang sama kerelaan untuk menyingkirkan ketidakadilan, penindasan, dan kedhaliman menjadi substansi keimanan yang sebenarnya.
“Laa yu'minu ahadukum hatta yuhibbu li akhy maa yuhibbu linafsih”
(HR. Bukhari wa muslim)
Belum sempurna iman seseorang di antara kamu sampai dia menginginkan apa yang terjadi kepada saudaranya , terjadi juga juga kepada saudara-saudaranya atas kenikmatan yang dimilkinya.
Sehingga dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan, jika kita sebagai umat muslim mendapatkan sesuatu kenikmatan, misalnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah, maka hendaknya ia melihat di sekitarnya apakah ada orang-orang yang putus sekolah sedemikian hingga ia berusaha bagaimana saudaranya semuslim itu juga bisa sekolah.
Apabila merasa beriman, maka tolak ukurnya adalah saudara kita yang terdapat di dekat kita. Sudahkah mereka terbebas dari kemiskinan?. Islam yang mengakui anatara yang satu dengan yang lain saling bersaudara, di sinilah saat yang tepat untuk membuktikan nilai dan kualitas persaudaraan kita.

Kualitas Keimanan
Banyak kebanyakan kita memaknai keimanan dengan mengucapkan rukun iman dan islam secara ferbal, dan diyakini dalam hati serta dilakukan daam praksis kehidupan. Seharusnya kualitas keimanan tidak hanya diukur secara formalitas belaka, akan tetapi ada langkah konkrit untuk memerangi kedhaliman dan menolong yang lemah, baik lemah dalam keimanannya, lemah akalnya, lemah akan kepemilikan harta.
“kefakiran itu dekat dengan kekafiran”.
Hadits Muhammad tersebut sering diinterpretasikan bahwa dengan kekurangan harta benda maka seseorang dengan mudah bisa 'melepas' keimanannya. Sebuah interpretasi yang memang bersudut pandang kondisi 'sebenarnya', de facto. Dimana kondisi keterjepitan ekonomi bisa membuat seseorang menggadaikan keimanannya. Hal inilah yang seharusnya perlu direnungi oleh umat muslim, dimana banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan.
Iman yang dipraktekan oleh nabi Muhammad SAW tanpa bentuk kompromi apapun. Yang miskin, lemah, yatim selalau menjadi prioritas dalam mendistribusikan kekayaan. Dalam konteks ini, kaitannya dengan Indonesia, umat islam ditegaskan agar mendistribusikan sebagian harta kekayaannya menjadi hak orang lain.
Sekali lagi, iman bukan hanya ferbal memberikan penyaksian akan keberadaan Allah. Namun pada saat yang sama kerelaan untuk menyingkirkan ketidakadilan, penindasan, dan kedhaliman menjadi substansi keimanan yang sebenarnya.
“Laa yu'minu ahadukum hatta yuhibbu li akhy maa yuhibbu linafsih”
(HR. Bukhari wa muslim)
Belum sempurna iman seseorang di antara kamu sampai dia menginginkan apa yang terjadi kepada saudaranya , terjadi juga juga kepada saudara-saudaranya atas kenikmatan yang dimilkinya.
Sehingga dari hadis tersebut dapat diambil kesimpulan, jika kita sebagai umat muslim mendapatkan sesuatu kenikmatan, misalnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah, maka hendaknya ia melihat di sekitarnya apakah ada orang-orang yang putus sekolah sedemikian hingga ia berusaha bagaimana saudaranya semuslim itu juga bisa sekolah.
Apabila merasa beriman, maka tolak ukurnya adalah saudara kita yang terdapat di dekat kita. Sudahkah mereka terbebas dari kemiskinan?. Islam yang mengakui anatara yang satu dengan yang lain saling bersaudara, di sinilah saat yang tepat untuk membuktikan nilai dan kualitas persaudaraan kita.

Related Post



0 komentar: