Banyak kebanyakan kita memaknai
keimanan dengan mengucapkan rukun iman dan islam secara ferbal, dan diyakini
dalam hati serta dilakukan daam praksis kehidupan. Seharusnya kualitas keimanan
tidak hanya diukur secara formalitas belaka, akan tetapi ada langkah konkrit untuk
memerangi kedhaliman dan menolong yang lemah, baik lemah dalam keimanannya,
lemah akalnya, lemah akan kepemilikan harta.
“kefakiran itu dekat dengan kekafiran”.
Hadits Muhammad tersebut sering
diinterpretasikan bahwa dengan kekurangan harta benda maka seseorang dengan
mudah bisa 'melepas' keimanannya. Sebuah interpretasi yang memang bersudut
pandang kondisi 'sebenarnya', de facto. Dimana kondisi keterjepitan ekonomi
bisa membuat seseorang menggadaikan keimanannya. Hal inilah yang seharusnya
perlu direnungi oleh umat muslim, dimana banyak saudara-saudara kita yang
membutuhkan.
Iman yang dipraktekan oleh nabi
Muhammad SAW tanpa bentuk kompromi apapun. Yang miskin, lemah, yatim selalau
menjadi prioritas dalam mendistribusikan kekayaan. Dalam konteks ini, kaitannya
dengan Indonesia, umat islam ditegaskan agar mendistribusikan sebagian harta
kekayaannya menjadi hak orang lain.
Sekali lagi, iman bukan hanya ferbal
memberikan penyaksian akan keberadaan Allah. Namun pada saat yang sama kerelaan
untuk menyingkirkan ketidakadilan, penindasan, dan kedhaliman menjadi substansi
keimanan yang sebenarnya.
“Laa yu'minu ahadukum hatta yuhibbu
li akhy maa yuhibbu linafsih”
(HR. Bukhari wa muslim)
Belum sempurna iman seseorang di
antara kamu sampai dia menginginkan apa yang terjadi kepada saudaranya ,
terjadi juga juga kepada saudara-saudaranya atas kenikmatan yang dimilkinya.
Sehingga dari hadis tersebut dapat
diambil kesimpulan, jika kita sebagai umat muslim mendapatkan sesuatu
kenikmatan, misalnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah, maka hendaknya ia
melihat di sekitarnya apakah ada orang-orang yang putus sekolah sedemikian
hingga ia berusaha bagaimana saudaranya semuslim itu juga bisa sekolah.
Apabila merasa beriman, maka tolak
ukurnya adalah saudara kita yang terdapat di dekat kita. Sudahkah mereka
terbebas dari kemiskinan?. Islam yang mengakui anatara yang satu dengan yang
lain saling bersaudara, di sinilah saat yang tepat untuk membuktikan nilai dan
kualitas persaudaraan kita.
Kualitas Keimanan
Banyak kebanyakan kita memaknai
keimanan dengan mengucapkan rukun iman dan islam secara ferbal, dan diyakini
dalam hati serta dilakukan daam praksis kehidupan. Seharusnya kualitas keimanan
tidak hanya diukur secara formalitas belaka, akan tetapi ada langkah konkrit untuk
memerangi kedhaliman dan menolong yang lemah, baik lemah dalam keimanannya,
lemah akalnya, lemah akan kepemilikan harta.
“kefakiran itu dekat dengan kekafiran”.
Hadits Muhammad tersebut sering
diinterpretasikan bahwa dengan kekurangan harta benda maka seseorang dengan
mudah bisa 'melepas' keimanannya. Sebuah interpretasi yang memang bersudut
pandang kondisi 'sebenarnya', de facto. Dimana kondisi keterjepitan ekonomi
bisa membuat seseorang menggadaikan keimanannya. Hal inilah yang seharusnya
perlu direnungi oleh umat muslim, dimana banyak saudara-saudara kita yang
membutuhkan.
Iman yang dipraktekan oleh nabi
Muhammad SAW tanpa bentuk kompromi apapun. Yang miskin, lemah, yatim selalau
menjadi prioritas dalam mendistribusikan kekayaan. Dalam konteks ini, kaitannya
dengan Indonesia, umat islam ditegaskan agar mendistribusikan sebagian harta
kekayaannya menjadi hak orang lain.
Sekali lagi, iman bukan hanya ferbal
memberikan penyaksian akan keberadaan Allah. Namun pada saat yang sama kerelaan
untuk menyingkirkan ketidakadilan, penindasan, dan kedhaliman menjadi substansi
keimanan yang sebenarnya.
“Laa yu'minu ahadukum hatta yuhibbu
li akhy maa yuhibbu linafsih”
(HR. Bukhari wa muslim)
Belum sempurna iman seseorang di
antara kamu sampai dia menginginkan apa yang terjadi kepada saudaranya ,
terjadi juga juga kepada saudara-saudaranya atas kenikmatan yang dimilkinya.
Sehingga dari hadis tersebut dapat
diambil kesimpulan, jika kita sebagai umat muslim mendapatkan sesuatu
kenikmatan, misalnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah, maka hendaknya ia
melihat di sekitarnya apakah ada orang-orang yang putus sekolah sedemikian
hingga ia berusaha bagaimana saudaranya semuslim itu juga bisa sekolah.
Apabila merasa beriman, maka tolak
ukurnya adalah saudara kita yang terdapat di dekat kita. Sudahkah mereka
terbebas dari kemiskinan?. Islam yang mengakui anatara yang satu dengan yang
lain saling bersaudara, di sinilah saat yang tepat untuk membuktikan nilai dan
kualitas persaudaraan kita.
0 komentar:
Posting Komentar