Dalam persoalan lingkungan hukum
fiqih haruslah memberikan konstribusi dan solusi positif bagi masyarakat.
Dibutuhkan aturan yang jelas dalam pemanfaatan lingkungan hidup dalam
perspektif agama islam, khususnya mengenai ilmu fiqih. Akan tetapi, intensitas kajian
fiqih lingkungan berbeda dengan fiqih ibadah, fiqih munakahat, fiqih lintas
agama dan sebagainya. Tidak banyak tokoh agama islam yang membahas mengenai
fiqih lingkungan. Hal ini yang menyebabkan informasi mengenai fiqih lingkungan
sulit untuk didapat, oleh karenanya persoalan mengenai fiqih lingkungan menjadi
sesuatu yang sulit.
Berbagai kerusakan alam yang telah
banyak menelan korban seprti longsor dan banjir merupakan akibat kurang
pedulinya manusia terhadap lingkungan sekitar. Kenyataan seperti ini akan
memberi kesan bahwasannya islam tidak peduli terhadap lingkungan. Kalau kita
telisik ajaran islam secara mendalam, islam tidak hanya mengatur masalah
hubungan antara makhluk dengan sang pencipta, tetapi islam juga mengatur
masalah hubungan antara makhluk dengan makhluk. Tidak hanya itu, setiap bidang
ilmu di dalam ajaran islam ternyata juga mengandung hal-hal yang sangat kecil
tetapi memiliki manfaat yang begitu besar, mari kita ambil salah satu contoh
mengenai hukum fiqih air. Ketika para ulama membahas konsep tentang air dalam
bab thaharah, ulama’ fiqih membaginya dalam empat bagian:
1. Air suci mensucikan dan tidak makruh
jika digunakan, yakni air murni yang belum tercampur dengan sesuatu yang dapat
merubah sifat, rasa, dan bau air itu sendiri.
2. Air suci mensucikan tetapi makruh,
yaitu air yang disimpan di dalam bekas logam dan terdedah kepada panas matahari.
Air ini berpotensi menimbulkan penyakit jika menyentuh kulit.
3. Air suci mensucikan tetapi haram,
yaitu air yang belum tercampur dengan sesuatu yang dapa merubah air namun
diperoleh dengan cara yang haram.
4. Air suci tidak mensucikan. Air yang
bercampur dengan sesuatu yang suci yang mengubah salah satu sifatnya dari segi
warna, bau atau rasa.
5. Air najis, yaitu air yang tercampur
dengan najis sehingga berubah warna, bau atau rasa.
Dari kelima kategori tersebut, hanya
jenis air yang pertama yang sah digunakan untuk bersuci. Pada jenis air yang
kedua, walaupun air suci, namun karena membahayakan penggunanya maka dilarang. Begitu
pula jenis air yang ketiga, haram memakainya dikarenakan cara mendapatkan air
yang bertentangan dengan ajaran agama. Sedangkan untuk jenis air yang keempat
dan kelima jika digunakan untuk bersuci maka tidak sah, karena air tidak telah
bercampur denganbenda lain sehingga tidak murni lagi. Itulah islam, fiqih
lingkungan memperhatikan sangat-sangat mengenai pengelolaan kemurnian air.
Aturan ini secara eksplisit
memberikan pelajaran bagi umat islam untuk menjaga kemurnian air. Kemurnian air
jangan sampai rusak karena ulah tangan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, karena air sangat penting bagi kehidupan. Air tidak boleh tercemar,
karena bias menyebabkan air tidak bias lagi dimanfaatkan untuk bersuci. Bukan hanya
itu, cara mendapatkan airnya pun harus dengan cara yang benar, tidak melanggar aturan-aturan
yang berlaku.
Inilah yang selama ini tidak
tersentuh, jarang ada usaha dari para fuqoha’ (ahli fiqih) untuk mengkaitkan
antar fiqih dengan lingkungan. Tidak banyak didengar penjelasan mengenai
thaharah (bersuci) yang kemudian dikaitkan dengan pelestarian sumber daya alam.
0 komentar:
Posting Komentar