Hasil penelitian Jenning & Dunne
(dalam Gusti, 2006), menyatakan bahwa sebagian
besar siswa beranggapan bahwa mata pelajaran matematika adalah salah satu mata
pelajaran yang kurang disukai. Hasil monitoring dan evaluasi P4TK matematika 2007 dan PPPG
matematika tahun-tahun sebelumnya memperlihatkan lebih dari 50 % guru
menyatakan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
soal cerita. Penyebabnya adalah kurangnya ketrampilan siswa dalam menerjemahkan
kalimat sehari-hari ke dalam kalimat matematika ( Raharjo, 2008:1). Permasalahan yang sama juga
terjadi di SMP Negeri 1 Jember, sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan
guru kelas VII bahwa sebagian besar siswa merasa kesulitan dalam menyelesaikan
soal cerita. Khususnya pokok bahasan aljabar. Permasalahan yang sering muncul adalah kebanyakan siswa tidak dapat
mengetahui maksud soal dan tidak dapat menginterpretasikan permasalahan
matematika tersebut ke dalam bahasa matematika serta kesulitan dalam membuat
model matematika dari permasalahan tersebut.
Peningkatan kemampuan komunikasi
matematika dapat dilakukan dengan mengadakan inovasi dalam pembelajaran.
Pembelajaran yang kiranya tepat adalah pembelajaran matematika realistik,
karena pembelajaran ini berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari
dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengaitkan pengalaman kehidupan nyata dengan ide-ide
matematika dalam pembelajaran di kelas, pembelajaran menjadi lebih bermakna. Pembelajaran matematika realistik
tersebut perlu didukung oleh situasi belajar yang dapat memudahkan siswa dalam
merealisasikannya. Salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif yang
dianggap dapat mendukung
pembelajaran matematika realistik dan dapat memotivasi siswa
untuk berperan aktif dalam proses belajar-mengajar adalah pembelajaran
kooperatif tipe TGT (Teams-Games-Tournament). Dalam
pembelajaran ini siswa ditempatkan dalam kelompok - kelompok belajar yang
beranggotakan siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras
yang berbeda.
Menurut
Suharta (2005), Pembelajaran Matematika Realistik pertama kali diperkenalkan
dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Freudenthal. Pembelajaran ini
mengacu pada pendapat Freudenthal yaitu mathematics
must be connected to reality and mathematics as human activity yang
artinya matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika harus dekat
dengan siswa dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Ini berarti
matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata
sehari-hari.
Pembelajaran
matematika realistik dengan setting kooperatif tipe TGT merupakan perpaduan
antara pembelajaran matematika realistik dengan pembelajaran kooperatif tipe
TGT yang saling berkaitan dan saling melengkapi. Secara garis besar,
pembelajaran ini merupakan mutlak penerapan dari pembelajaran matematika
realistik. Akan tetapi, untuk mendukung terlaksananya pembelajaran matematika
realistik diperlukan suatu pembelajaran dengan setting kooperatif tipe TGT .
Menurut
Sumarmo (dalam Satriawati, 2003: 110),
kemampuan komunikasi matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan
memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk:
a. merefleksikan benda-benda nyata,
gambar, dan diagram ke dalam ide matematika;
b. membuat model situasi atau persoalan
menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar;
c. menyatakan peristiwa sehari-hari
dalam bahasa atau simbol matematika;
d. mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika;
e. membaca dengan pemahaman suatu
presentasi matematika tertulis;
f. membuat konjektur, menyusun argumen,
merumuskan definisi, dan
generalisasi;
g.
menjelaskan
dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Indikator komunikasi
matematika menurut NCTM (dalam Andriani, 2008), dapat dilihat dari:
1) kemampuan mengekspresikan ide-ide
matematika melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta
menggambarkannya secara visual;
2) kemampuan memahami,
mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika baik secara lisan,
tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya;
3) kemampuan dalam menggunakan
istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk
menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
0 komentar:
Posting Komentar