Rahmy Zulmaulida, S.Pd
Menatap
masa depan, matematika harus dipelajari siswa-siswa kita karena kegunaannya
yang penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Penerapan matematika akhir-akhir
ini telah berubah banyak dan cepat karena kehadiran dan perkembangan teknologi
elektronik dalam dunia kerja. Pembelajaran matematika di tingkat satuan
pendidikan harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sedang berlangsung. Kurikulum mata pelajaran matematika
harus dirancang tidak hanya untuk siswa melanjutkan ke pendidikan tinggi tetapi
juga untuk memasuki dunia pasar kerja. Depdiknas (2007:1)
Upaya
pemerintah, untuk memajukan pendidikan terlihat melalui Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini mengamanatkan
pembaharuan yang besar dalam system pendidikan kita. Sebagai kelanjutan dari
Undang-undang tersebut, untuk pertama kalinya dalam pendidikan kita diharuskan
ada standard nasional untuk isi atau disingkat Standar Isi (SI) melalui Permen
No. 22 Tahun 2006. Karena standard ini bersifat Nasional maka haruslah setelah
beberapa waktu SI tersebut dipenuhi oleh semua system pendidikan di Nusantara.
Mengacu kepada SI ini juga standard yang lain seperti standard kompetensi guru
dan standard buku/bahan ajar matematika dapat disusun rambu-rambu untuk
menyusun kurikulum matematika.
Suryadi
(2005:2) mengatakan Berdasarkan literatur yang ada, ciri-ciri pembelajaran
matematika pada kurikulum 1968 antara lain adalah sebagai berikut:
a. Dalam
pengajaran geometri, penekanan lebih diberikan pada keterampilan berhitung,
misalnya menghitung luas bangun geometri datar atau volume bangun geometri
ruang, bukan pada pengertian bagaimana rumus-rumus untuk melakukan perhitungan
tersebut diperoleh (Ruseffendi, 1985, h.33).
b.
Lebih mengutamakan hafalan yang sifatnya mekanis daripada pengertian
(Ruseffendi, 1979, h.2).
c. Program
berhitung kurang memperhatikan aspek kontinuitas dengan materi pada jenjang
berikutnya, serta kurang terkait dengan dunia luar (Ruseffendi, 1979, h.4).
d. Penyajian
materi kurang memberikan peluang untuk tumbuhnya motivasi serta rasa ingin tahu
anak (Ruseffendi, 1979, h.5).
Menurut
Ruseffendi (dalam Suryadi:3), matematika moderen tersebut memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Terdapat
topik-topik baru yang diperkenalkan yaitu himpunan, geometri bidang dan ruang,
statistika dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, dan penulisan
lambang bilangan nondesimal. Selain itu diperkenalkan pula konsep-konsep baru
seperti penggunaan himpunan, pendekatan pengajaran matematika secara spiral,
dan pengajaran geometri dimulai dengan lengkungan.
b. Terjadi
pergeseran dari pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan ke pengajaran
yang mengutamakan pengertian.
c. Soal-soal
yang diberikan lebih diutamakan yang bersifat pemecahan masalah daripada yang
bersifat rutin.
d. Ada
kesinambungan dalam penyajian bahan ajar antara Sekolah Dasar dan Sekolah
Lanjutan.
e. Terdapat penekanan kepada struktur.
f. Program
pengajaran pada matematika moderen lebih memperhatikan adanya keberagaman antar
siswa.
g. Terdapat
upaya-upaya penggunaan istilah yang lebih tepat.
h. Ada
pergeseran dari pengajaran yang berpusat pada guru ke pengajaran yang lebih berpusat
pada siswa.
i. Sebagai
akibat dari pengajaran yang lebih berpusat pada siswa, maka metode mengajar
yang lebih banyak digunakan adalah penemuan dan pemecahan masalah dengan teknik
diskusi.
j. Terdapat
upaya agar pengajaran matematika dilakukan dengan cara yang menarik, misalnya
melalui permainan, teka-teki, atau kegiatan lapangan.
Berdasarkan
ciri-ciri pengajaran matematika moderen di atas, maka teori belajar yang
dipergunakan lebih bersifat campuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi
(dalam Suryadi:3) yang menyatakan bahwa teori belajar-mengajar yang
dipergunakan pada saat itu adalah campuran antara teori pengaitan dari
Thorndike, aliran psikologi perkembangan seperti teori Piaget, serta aliran
tingkah laku dari Skinner dan Gagne.
Namun
demikian, Ruseffendi selanjutnya menambahkan bahwa teori yang lebih dominan
digunakan adalah aliran psikologi perkembangan seperti dari Piaget dan Bruner
sebab yang menjadi sentral pengajaran matematika adalah pemecahan masalah.
Jika dilihat dari ciri-cirinya yang tidak jauh
berbeda dengan kurikulum sebelumnya, maka teori belajar yang digunakan pada
pengajaran matematika kurikulum 1984 ini juga lebih bersifat campuran antara
teori pengaitan, aliran psikologi perkembangan, dan aliran tingkah laku.
Perubahan
kurikulum kembali terjadi pada tahun 1994 dimana dimulai dari tingkat SD hingga
tingkat SMU. Pada bidang matematika, terdapat beberapa perubahan baik dari sisi
materi maupun pengajarannya. Yang menjadi bahan kajian inti untuk matematika
sekolah dasar adalah: aritmetika (berhitung), pengantar aljabar, geometri,
pengukuran, dan kajian data (pengantar statistika). Pada kurikulum matematika
SD ini, terdapat penekanan khusus pada penguasaan bilangan (number sense)
termasuk di dalamnya berhitung. Untuk SLTP, bahan kajian intinya mencakup:
aritmetika, aljabar, geometri, peluang, dan statistika. Dalam kurikulum ini
terdapat upaya untuk menanamkan pemikiran deduktif yang ketat melalui struktur
deduktif terbatas pada sebagian bahan geometri. Materi matematika untuk SMU
terdapat sedikit perubahan yakni dimasukannya pengenalan teori graf yang
merupakan bagian dari matematika diskrit.
Penekanan khusus yang diberikan
pada penguasaan bilangan, termasuk di dalamnya berhitung. Merupakan perubahan
yang sangat mendasar yang terjadi di sekolah dasar yang merupakan ciri-ciri
kurikulum matematika sekolah tahun 1994. Implikasi dari perubahan ini, adalah
digunakannya kembali secara dominan teori belajar dari dari Skinner. Sementara
itu, pengajaran matematika untuk tingkat SLTP dan SMU nampaknya tidak jauh
berbeda dengan yang terjadi sebelumnya. Dengan demikian untuk tingkat SLTP dan
SMU teori belajar yang digunakan dalam proses belajar-mengajar masih bersifat
campuran dengan dominasi ada pada penerapan aliran psikologi perkembangan.
Sebagai
langkah penyempurnaan pada Kurikulum 1994, terjadi sejumlah reduksi serta
restrukturisasi materi bahan ajar sehingga muncul Kurikulum 1994. Sebagai
contoh, beberapa bagian dari pokok bahasan himpunan di SLTP dihilangkan, dan
pengantar teori graf di SMU juga dihilangkan. Selain itu, terdapat juga
perubahan-perubahan kecil dan penyusunan kembali urutan penyajian untuk
pokok-pokok bahasan tertentu. Selain dari hal tersebut, sebagian besar dari
materi kurikulum 1999 hampir sama dengan kurikulum 1994. Dengan demikian, teori
belajar yang digunakan pada kurikulum 1999 ini masih sama dengan yang digunakan
pada implementasi kurikulum sebelumnya.
Pada
tahun 2002, Pusat Kurikulum mengeluarkan dokumen kurikulum baru yang disebut
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beberapa ciri penting dari kurikulum tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
a. Karena kurikulum ini dikembangkan berdasarkan
kompetensi tertentu, maka kurikulum 2002 diberi nama Kurikulum Berbasis
Kompetensi.
b. Berpusat pada anak sebagai pengembang
pengetahuan.
c. Terdapat penekanan pada pengembangan
kemampuan pemecahan masalah; kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif,
serta kemampuan mengkomunikasikan gagasan secara matematik.
d. Cakupan
materi untuk sekolah dasar meliputi: bilangan, geometri dan pengukuran,
pengolahan data, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
e. Cakupan
materi untuk SLTP meliputi: bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, peluang
dan statistika, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
f. Cakupan
materi untuk SMU meliputi: aljabar, geometri dan pengukuran, trigonometri,
peluang dan statistika, kalkulus, logika matematika, pemecahan masalah, serta penalaran
dan komunikasi.
Kurikulum
berbasis kompetensi ini secara garis besarnya mencakup tiga komponen yaitu
kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar. Jika
dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum berbasis kompetensi ini
memuat perubahan yang cukup mendasar terutama dalam hal penerapan pandangan
bahwa dalam proses belajar, anak dianggap sebagai pengembang pengetahuan.
Selain itu, adanya penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah;
berfikir logis, kritis, dan kreatif; serta mengkomunikasikan gagasan secara
matematik, maka teori belajar yang dominan digunakan kemungkinannya adalah
aliran psikologi perkembangan serta konstruktivisme. Dalam penerapannya, guru
antara lain harus mampu menciptakan suatu kondisi sehingga proses asimilasi dan
akomodasi seperti yang dikemukakan Piaget dapat berjalan secara efektif. Selain
itu, guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman kemampuan di antara siswa
sehingga dengan kondisi tertentu yang diciptakan guru, maka potensi
masing-masing siswa dapat berkembang secara optimal.
0 komentar:
Posting Komentar