Oleh: Rochmad
Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNNES Semarang
(Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional
Pendidikan Matematika: Sertifikasi Guru: Meningkatkan Kualitas Matematika di
Indonesia. Di Kampus Pascasarjana UNNES Semarang, tanggal 16 Januari 2008)
Abstrak:
Ciri utama penalaran dalam matematika adalah
deduktif, atau dengan perkataan lain matematika bersifat deduktif, yaitu
kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan matematika
bersifat konsisten. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran matematika pola pikir
induktif dan deduktif keduanya dapat digunakan untuk mempelajari konsep-konsep
matematika. Namun demikian, pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman
konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah dapat diawali
menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman khusus yang
dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan
matematika dengan menggunakan pola pikir induktif. Misalnya kegiatan
pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau fakta yang
teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang
mungkin, dan kemudian siswa dapat diarahkan menyusun generalisasi secara
deduktif. Selanjutnya, jika memungkinkan siswa dapat diminta membuktikan
generalisi yang diperolehnya secara deduktif. Secara umum dalam memecahkan
masalah siswa menggunakan pola pikir induktif-deduktif. Dalam pemecahan
masalah, memecahkannya kadang hanya menggunakan salah satu pola pikir induktif
atau deduktif, namun banyak masalah dalam memecahkannya menggunakan keduanya
pola pikir induktif dan deduktif secara bergantian.
Kata kunci: Pembelajaran matematika, pola pikir
induktif, pola pikir deduktif, pola pikir induktif-deduktif, pemecahan masalah.
A. Pendahuluan
Matematika merupakan pelajaran di sekolah yang
dipandang penting dan dipelajari oleh siswa di semua tingkat pendidikan.
Matematika informal diberikan pada anak-anak prasekolah, misalnya di “kelompok
bermain atau play group” dan di Taman Kanak-Kanak (TK). Mulai di sekolah dasar
(SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) siswa mendapat pelajaran matematika formal.
Di TK misalnya, siswa mulai mengenal klasifikasi secara informal. Anak-anak
bermain memilih benda-benda berwarna merah dari sekelompok benda-benda
mainannya dapat dikatakan secara informal siswa melakukan pengelompokan, dan
bahkan secara informal pada diri siswa mulai tertanam “penalaran matematika”,
misalnya siswa menggunakan penalaran matematika ketika mengetahui mana
benda-benda yang termasuk dalam kelompok benda-benda berwarna merah dan yang
bukan berwarna merah. Dalam setiap pengelompokan tentu ada syarat tertentu,
secara informal siswa dapat mengklasifikasikan mana benda-benda yang menjadi
anggota kelompoknya, syarat dalam melakukan pengelompokan oleh anak dilakukan
sendiri atau dilakukan dibawah bimbingan guru.
Sejak siswa duduk di kelas 1 SD/MI, mulailah
dikenalkan dengan matematika formal. Para siswa mulai mengenal obyek dasar
matematika yang bersifat abstrak misalnya fakta, konsep, prinsip dan struktur
matematika. Dalam mempelajari matematika siswa terlibat dengan berpikir.
Soedjadi (2000) menyatakan dalam matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola
pikir deduktif. Meskipun pada akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir
deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika dapat digunakan pola pikir
induktif.
Dewasa ini pembelajaran matematika konstruktivis
menjadi perhatian para pemerhati pendidikan untuk menggeser pembelajaran
matematika tradisional yang hasil belajarnya dipandang kurang optimal. Slavin
(2000) menyatakan “students must construct knowledge in their own mind”.
Pembelajaran matematika tradisional berpusat pada guru dengan metode ceramah
sebagai metode pembelajaran utama. Di kelas siswa lebih banyak sebagai
pendengar dan menghafal aturan-aturan atau rumus-rumus matematika kurang
memahaminya (Suwarsono, 1999; Ratumanan, 2003; Jaeng, 2004). Marpaung (dalam
Ratumanan, 2003) berpendapat bahwa matematika tidak ada artinya kalau hanya
dihafal.
Pembelajaran matematika beracuan konstruktivieme
berpusat pada siswa, guru berperan sebagai fasilitator terciptanya suasana
pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien dan menyenangkan. Guru menerapkan
berbagai metode yang dipandang sesuai dengan bahasan materi matematika yang
sedang dipelajari. Siswa terlibat membangun ide-ide, konsep-konsep,
prinsip-prinsip dan struktur-struktur matematika berdasar pengalaman siswa
sendiri.
Fakta di lapangan guru matematika sekolah kebanyakan
mengajar dengan cara tradisional dengan pola: informasi-contoh soal-latihan
sesuai contoh. Paradigma pembelajaran matematika di Indonesia selama
bertahun-tahun adalah paradigma mengajar dan banyak dipengaruhi oleh psikologi
tingkah laku, bukan paradigma belajar (Marpaung, 2003). Menurut Ratumanan
(2003) pembelajaran matematika di Indonesia beracuan behaviorisme dengan
penekanan pada transfer pengetahuan dan hukum latihan. Guru mendominasi kelas
dan menjadi sumber utama pengetahuan, kurang memperhatikan aktivitas aktif
siswa, interaksi siswa, negosiasi makna, dan konstruksi pengetahuan.
Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika beracuan behaviorisme selama ini kurang berhasil, oleh
karena itu perlu dicari alternatif ”penggantinya”, misalnya pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme. Tulisan ini membahas pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme dan kaitannya dengan penggunaan pola pikir
induktif dan deduktif. Tulisan ini menyajikan salah satu alternatif sintaks
pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan
pola pikir induktif-deduktif.
B. Pembahasan
1. Penalaran Matematika
Fondasi dari matematika adalah penalaran
(reasoning). Ross (dalam Lithner, 2000) menyatakan bahwa salah satu tujuan
terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa
penalaran logika (logical reasoning). Bila kemampuan bernalar tidak
dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika hanya akan menjadi materi
yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui
maknanya.
Banyak penelitian yang dilakukan para psikolog dan
pendidik berkaitan dengan penalaran. Penalaran yang mula-mula dikenalkan oleh
Aristotle adalah penalaran silogisme yang idenya muncul ketika orang ingin
mengetahui “apa yang terjadi dibenak” dalam memecahkan masalah yang memuat
logika. Lebih dari 2000 tahun yang lalu Aristotle mengenalkan suatu sistem
penalaran atau validasi argumen yang disebut silogisme. Silogisme memuat tiga
urutan argumen: sebuah premis utama (a major premise); sebuah premis minor (a
minor premise); dan sebuah kesimpulan (a conclusion). Suatu kesimpulan yang
dicapai berdasarkan penalaran silogisme dinilai “benar” atau “valid”, jika
premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar dan disusun dalam bentuk yang
benar.
Dalam belajar matematika memerlukan penalaran
induktif dan deduktif. Copeland (1974) mengklasifikasikan penalaran dalam
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif digunakan bila
dari kebenaran suatu kasus khusus kemudian disimpulkan kebenaran untuk semua
kasus. Penalaran deduktif digunakan berdasarkan konsistensi pikiran dan
konsistensi logika yang digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme
benar dan bentuknya (format penyusunannya) benar, maka kesimpulannya benar.
Proses penarikan kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau sering disebut
penalaran deduktif.
Peressini dan Webb (1999) di samping memandang
penalaran matematika sebagai konseptualisasi dinamik dari daya matematika
(mathematically powerful) siswa, juga memandang penalaran matematika sebagai
aktivitas dinamik yang melibatkan keragaman mode berpikir. Daya matematika
sebagai suatu integrasi dari berikut ini: (a) suatu kecenderungan positip
kepada matematika; (b) pengetahuan dan pemahaman terhadap sifat-sifat
matematika, meliputi konsep-konsep, prosedur-prosedur dan
keterampilan-keterampilan; (c) kecakapan melakukan analisis dan beralasan
secara matematis; (d) kecakapan menggunakan bahasa matematika untuk
mengkomunikasikan ide-ide; dan (e) kecakapan menerapkan pengetahuan matematika
untuk memecahkan masalah-masalah dalam berbagai konteks dan disiplin ilmu
(NCTM, 1989 dalam Perissini dan Webb, 1999).
Daya matematika siswa seyogyanya dapat diwujudkan
dalam berbagai dimensi supaya mampu memunculkan berbagai metode matematika yang
nantinya dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah tidak rutin dan dapat
dijadikan panduan dalam menghadapi perubahan kehidupan dalam masyarakat yang
bergantung pada kemajuan ilmu, teknologi dan informasi. Penalaran matematika
dalam sudut pandang aktivitas dinamik melibatkan keragaman mode berpikir, dan
daya matematika dipandang sebagai komponen integral dari berpikir matematika.
Khususnya berpikir matematika yang melibatkan keragaman matematika dalam
keterampilan berpikir untuk memahami ide-ide, menemukan hubungan antar ide-ide,
dan mendukung gambaran atau kesimpulan tentang ide-ide dan
hubungan-hubungannya, dan memecahkan masalah-masalah yang melibatkan ide-ide
tersebut (O’Daffer dan Thornquist dalam Perissini dan Webb, 1999).
Penalaran matematika memiliki peran yang amat
penting dalam proses berpikir seseorang. Penalaran matematika meliputi
mengumpulkan bukti-bukti, membuat konjektur-konjektur, menetapkan
generalisasi-generalisasi, membangun argumen-argumen, dan menentukan (dan
validasi) kesimpulan-kesimpulan logis berdasar ide-ide dan
hubungan-hubungannya. Untuk mencapai daya matematika berbagai mode penalaran
matematika dilibatkan misalnya induktif (inductive), deduktif (deducttive),
bersyarat (conditional), perbandingan (proporsional), grafik (graphical),
keruangan (spatial) dan penalaran abstrak (abstract reasoning).
2. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
Salah satu dari prinsip yang paling penting dalam
psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat dengan mudah menanamkan
pengetahuan pada diri siswa. Slavin (2000) menyatakan bahwa siswa harus
mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya. Berkaitan dengan hal ini, guru dapat
menciptakan suasana pembelajaran sehingga informasi, keterampilan dan konsep
yang disampaikan menjadi bermakna dan relevan bagi siswa dengan cara memberi
kesempatan kepada para siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri;
serta suasana pembelajaran yang mampu menjadikan siswa memiliki keberanian dan
dengan penuh kesadaran belajar menggunakan strateginya sendiri. Guru dapat
memberi tangga kepada siswa agar dapat digunakan untuk naik menuju ke pemahaman
yang lebih tinggi, tetapi biarkanlah siswa sendiri yang memanjatnya.
Menurut Slavin (2000) proses mengajar belajar yang
berpusat pada siswa dan menekankan pada aktivitas siswa mengkonstruksi
pengetahuan dalam benaknya sendiri dinamakan teori pembelajaran
konstruktivistik (constructivist theories of learning). Pembelajaran
konstruktivis mengkondisikan kegiatan siswa dalam interval waktu kerja yang
tidak begitu lama memeriksa informasi baru dan dibandingkan dengan
aturan-aturan yang telah diketahuinya, dan mungkin kemudian merevisi aturan-aturan
tersebut. Karena pembelajaran konstruktivis menekankan kepada para siswa agar
belajar lebih aktif di kelas, maka pembelajaran konstruktivis sering dinamakan
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam pembelajaran beracuan
konstruktivisme guru menjadi pembimbing dan fasilitator. Inti dari pembelajaran
konstruktivis adalah siswa secara individual menemukan dan mentransformasi
informasi yang begitu kompleks dalam benaknya.
Kenyataan bahwa para siswa sering mempelajari
konsep-konsep dan prosedur-prosedur matematika dengan kurang atau tidak
memahaminya dikemukakan dalam National Assessment of Educational Progress
(dalam Johnson, Johnson dan Stiff, 1993). William A. Brownel (dalam Johnson,
Johnson dan Stiff, 1993) adalah salah seorang yang mula-mula mengajukan teori
pembelajaran matematika (aritmetika) secara bermakna (meaningful learning)
berpendapat bahwa pembelajaran matematika yang efektif harus menyajikan suatu
pemahaman pada konsep-konsep, hubungan-hubungan, dan proses terjadinya definisi
aritmetika. Penelitian menunjukkan bahwa para siswa sering mempelajari
prosedur-prosedur dalam aljabar tanpa memahami makna apa yang mereka pelajari.
Reed (dalam Johnson, Johnson dan Stiff, 1993) menyatakan bahwa jika para siswa
memahami struktur-struktur yang mendasari masalah, susunan kata dalam masalah
kurang memberi efek pada kecakapan siswa dalam memecahkannya atau dalam
mengkonstruksi alternatif pemecahannya. Salah satu strategi penting untuk
membantu siswa dalam memahami masalah secara bermakna adalah meminta siswa
menulis dan merumuskan kembali masalah yang sedang dihadapi sebelum siswa
menulis penyelesaianya.
Sampai saat ini, teori perkembangan intelektual anak
yang sering menjadi acuan para pemerhati pendidikan adalah teori perkembangan
inelektual Piaget. Di awal kerjanya ia mengidentifikasi adanya empat tahap
perkembangan kognitif: sensori motor (sensorimotor), preoperasional
(preoperational), operasional konkret (concrete operational), dan operasi
formal (formal operational). Tetapi siswa jarang hanya berada pada satu sisi
tahap perkembangan. Para siswa pada jenjang pendidikan setingkat SMA (high
school) sering berada dan bergerak pada operasi konkret dan operasi formal jika
mereka sedang mempelajari keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan
prinsip-prinsip baru (Johnson, Johnson dan Stiff, 1993).
Teori Piaget tentang perkembangan intelektual
menaruh perhatian pada proses asimilasi (assimilation) dan akomodasi
(accommodation) informasi dalam skema mental siswa. Asimilasi adalah suatu
proses menempatkan informasi dan pengalaman baru dalam struktur kognitif siswa.
Akomodasi adalah hasil penyetrukturan kembali dalam skema kognitif.
Assimilation is the process by which new experience
and information are placed into the cognitive structure of the leaner. […]
Accomodation is the product of any restructuring of that cognitive schema.
(Stiff, Johnson, dan Johnson; 1993:3)
Pembelajaran beracuan konstruktivisme menekankan
pada aktivitas siswa membangun (construct) pengetahuan untuk “menyesuaikan” apa
yang baru saja diketahui (atau diyakini). Kadangkala penyesuaian atau adaptasi
tidak dapat dengan mudah dilakukan. Apabila siswa tidak dapat membaca asimilasi
data baru dalam struktur mental yang ada, maka siswa membangun skema-skema atau
hubungan-hubungan baru agar dapat mengakomodasi pengetahuan dalam benaknya.
Untuk memperoleh pengalaman membangun pengetahuan baru dalam benaknya siswa
harus aktif terlibat dalam merestruktur pengetahuan tersebut.
Sebagai contoh, dalam memperoleh keterampilan
menyelesaikan sistem persamaan linear dengan dua variabel misalnya mula-mula
siswa terampil bekerja menggunakan cara “eleminasi”. Dengan berdasar
pengetahuan dan pengalaman siswa ini dimungkinkan menghasilkan penyetrukturan
kembali (restructuring) pemahaman mereka dalam menyelesaikan sistem persamaan
linear dengan dua variabel misalnya menyelesaikan persamaan tersebut dengan
menggunakan bantuan matriks.
Bruner (dalam Stiff, Johnson dan Johnson, 1993)
merumuskan empat teorema belajar matematika yang mengacu pada pandangan
konstruktivisme. Teorema konstruksi (construction theorem), teorema notasi
(notation theorem), teorema kontras dan variasi (contrast and variation
theorem), dan teorema konektivitas (connectivity theorem).
Teorema konstruksi menyatakan bahwa siswa seyogyanya
diberi kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri representasi konsep-konsep,
aturan-aturan dan hubungan-hubungannya. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas
guru sering menyediakan dan menggunakan bantuan benda-benda konkret atau
benda-benda manipulatif untuk membantu siswa dalam belajarnya. Teori notasi
menyatakan bahwa penggunaan notasi yang baik akan menyederhanakan proses
kognisi dalam menangkap konsep-konsep, aturan-aturan dan hubungan-hubungannya.
Sebagai contoh, siswa akan lebih memahami konsep “variabel” jika digunakan
representasi ikonik misalnya 19 = __ + 7 dari pada digunakan representasi baku
19 = x + 7.
Teorema kontras dan variasi menyatakan bahwa
kemajuan dari representasi konsep-konsep dari konkret ke bentuk abstrak
bergantung pada pengalaman siswa dalam membandingkan atribut-atribut suatu
konsep dengan atribut-atribut konsep lain yang serupa. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menghadapi dan menyelesaikan berbagai contoh. Teorema konektivitas
menyatakan bahwa guru perlu mendemonstrasikan hubungan antar
keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika.
Teorema konektivitas ini dapat mengurangi isolasi antar topik dalam
pembelajaran matematika dan dapat mengantarkan siswa sampai pada tingkat
intuisi dan penalaran matematika yang lebih tinggi, yakni belajar matematika
secara bermakna (meaningfull mathematical learning).
3. Pola Pikir Induktif-Deduktif dalam Pembelajaran
Matematika
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran
tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan
teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik
dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka
pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan
pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan
pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru
mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder,
2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah:
”All new learning involves transfer of information based on previous learning”,
artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis
pembelajaran sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan
pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep.
Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1)
definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh
dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi
yang disampaikan. Major (2006) memberi contoh pembelajaran barisan aritmetika
sebagai berikut. Guru mulai pembelajaran dengan menulis definisi dipapan tulis:
‘barisan aritmetika adalah barisan yang memiliki beda sama’. Kemudian guru
menjelaskan apa maksud ‘memiliki beda sama’. Kemudian guru melanjutnya
pembelajaran, misalkan suku pertama barisan adalah a, dan beda b, maka a, a +
b, a + 2b + … + (a + (n – 1)b) adalah barisan arimetika. Selanjutnya guru
memberi contoh dan memberi soal untuk dikerjakan siswa.
Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna
matematika dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif. Hal ini disebabkan
siswa baru memahami generalisasi atau kosep setelah disajikan berbagai contoh.
Major (2006) menyarankan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif: (1)
mulailah dengan menyatakan generalisasi secara jelas; (2) tulis definisi
dipapan tulis; (3) jelaskan istilah-istilah dalam definisi; (4) secara
hati-hati tekankan hubungan-hubungan sifat dalam generalisasi; (5) ilustrasikan
dengan contoh; dan (5) berilah kesempatan siswa memberi atau mengerjakan contoh
berikutnya.
Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain
dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif .
Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran
inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek,
pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan
pendekatan induktif dimulai dengan melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus
dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah
konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan
prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan
pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi.
Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju
konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian
membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki
pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut
setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
4. Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme
yang Melibatkan Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif
Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika beracuan
konstruktivisme masih sulit menentukan pendekatan mana yang lebih baik;
pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif atau dengan pendekatan
deduktif. Menurut Prince dan Felder (2006), guru yang baik adalah yang membantu
siswa mempelajari keduanya. Menurut Dameus, A. Tilley, D.S, Brant, M (2004)
pendekatan pembelajaran dapat induktif atau deduktif, atau kombinasi dari
keduanya. Major (2006) berpendapat dalam pelaksanaan pembelajaran lebih baik
memuat keduanya kegiatan induktif dan deduktif meskipun tak dapat dihindari
mana yang lebih dominan.
Berdasar uraian di atas dan mengacu pendapat dengan
Prince dan Felder (2006), Dameus, A. Tilley, D.S, Brant (2004), dan Major
(2006); penulis berpendapat pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme
dapat dirancang mengkombinasikan keduanya memuat kegiatan induktif dan
deduktif, sependapat dengan Major (2006) dalam pelaksanaan pembelajaran lebih
baik memuat keduanya kegiatan induktif dan deduktif meski tak dapat dihindari
salah satu dari kegiatan tersebut lebih dominan.
Dalam makalah ini dikembangkan pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir
induktif-deduktif. Rancangan sintaks pembelajaran dominan pada kegiatan
induktif yang memuat kegiatan siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika
berdasar pengalaman siswa sendiri. Siswa melakukan pengamatan pada hal-hal
khusus, misalnya contoh-contoh suatu konsep dan menuliskan konsep tersebut
dengan bahasa siswa sendiri. Dalam kegiatan induktif ini siswa belajar
mengkonstruk pengetahuan matematis menggunakan pola pikir induktif. Ketika
siswa memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif atau deduktif
secara bergantian. Dengan demikian kegiatan deduktif tercakup dalam pemecahan
masalah. Dalam pemecahan masalah siswa terlibat dengan penggunaan pola pikir
induktif-deduktif.
Salah satu alternatif sintaks pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir
induktif-deduktif serta pembelajaran yang memungkinkan mencakup kegiatan
pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah sebagai
berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase
kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan induktif-deduktif; dan (5) fase
kegiatan penutupan.
a. Fase kegiatan pembukaan
Kegiatan guru pada fase kegiatan pembukaaan
pertama-tama guru membuka pembelajaran. Menyampaikan tujuan pembelajaran, dan
memotivasi siswa agar dapat lebih siap dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya guru memeriksa pengetahuan prasyarat misalnya dengan cara
menanyakan hasil pekerjaan rumah, atau menanyakan materi yang berkaitan dengan
pembelajaran yang telah diberikan sebelumnya.
Menurut Kemp (1994: 107) dapat disinyalir bahwa
siswa mengalami kesulitan belajar disebabkan siswa tidak mengetahui dengan
pasti atau kurang jelas apa yang diharapkan oleh guru dari siswa. Jika apa yang
diharapkan guru tidak dibatasi dengan jelas, siswa tentu tidak akan tahu dengan
pasti apa yang akan dipelajari dan apa yang perlu dilakukan. Oleh karena itu di
awal pembelajaran guru perlu menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak
dicapai dan bagaimana cara belajar untuk mencapainya.
Tujuan pembelajaran perlu diketahui oleh siswa agar
siswa mengetahui apa yang harus dilakukan. Tujuan pembelajaran untuk suatu
pokok bahasan harus diberikan pada saat mereka mulai mempelajari pokok bahasan
itu (Kemp, 1994). Dengan cara seperti ini, siswa akan mengetahui apa yang
diharapkan dari guru dalam mempelajari pokok bahasan tersebut dan dapat
mengatur tata cara belajarnya dengan baik. Kemp (1994: 130) menyatakan terdapat
bukti positif yang menunjukkan bahwa siswa yang diberi tahu tentang tujuan
pembelajaran yang harus mereka capai betul-betul mengalami kemajuan yang memuaskan
dalam jangka waktu yang lebih singkat dan mencapai tingkat keberhasilan yang
lebih besar dibandingkan dengan siswa yang tidak diberi tahu.
Motivasi diperlukan oleh para siswa dalam belajar
matematika. Ide awal penelitian Kazemi dan Stipek (2002) adalah untuk menjawab
tantangan bagaimana pentingnya guru memberi motivasi kepada seluruh siswa agar
para siswa bergairah dan terikat kuat dalam belajarnya. Oleh karena itu dalam
fase pembukaan ini guru perlu memberi motivasi kepada siswa agar siswa tebih bergairah
dan konsentrasi dalam belajarnya.
Agar guru dapat mengelola pembelajaran dengan baik,
guru perlu mengetahui pengetahuan prasyarat siswa yaitu dengan cara memberi
pertanyaan-pertanyaan yang mendasari sub pokok bahasan pembelajaran yang akan
disampaikan. Menurut Ausubel (dalam Joice dan Weil, 1992: 184): “whether or not
material is meaningful depends more on the preparation of the learner and on
the organization of the material than it does on the method of representation”.
Apakah materi yang dipelajari siswa bermakna atau tidak lebih bergantung pada
kesiapan siswa dan pengorganisasian materi dari pada metode penyajian. Oleh
karena itu, sebelum guru memulai pembelajaran perlu memeriksa pengetahuan
prasyarat siswa.
b. Fase kegiatan induktif.
Guru menyampaikan hal-hal khusus berkaitan dengan
materi pokok yang akan disampaikan. Guru mengarahkan siswa melakukan kegiatan
belajar dengan menggunakan pola pikir induktif, misalnya guru memberi beberapa
contoh suatu konsep, siswa diminta mengamati dengan cermat, dan meminta siswa
menulis makna konsep tersebut dengan bahasa siswa sendiri. Dalam fase ini
kegiatan belajar siswa mengkonstruk pengetahuan matematis dengan cara siswa
sendiri berdasar hasil pengamatannya.
Dalam fase kegiatan induktif ini dibawah bimbingan
dan arahan guru, siswa aktif belajar matematika secara individu. Meskipun
demikian, siswa diberi kesempatan berinteraksi dengan temannya, misalnya
bertukar pendapat dengan teman sebangkunya atau dengan teman-teman di dekatnya.
Kegiatan utama siswa adalah mengamati, memeriksa, menyelidiki, menganalisis,
atau memikirkan berdasarkan kemampuan masing-masing hal-hal yang bersifat
khusus dan mengkonstruk konsep atau generalisasi atau sifat-sifat umum berdasar
hal-hal khusus tersebut. Menurut Kemp (1994: 143) terdapat bukti yang
menunjukkan sebagian besar siswa dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan
cara yang paling memuaskan apabila siswa diberi kesempatan belajar menurut
kemampuan masing-masing.
Pada fase kegiatan induktif ini prinsip memuat
prinsip pertama pembelajaran beracuan konstruktivisme menurut Tadao (dalam
Sa’dijah, 2006), yaitu fase kesadaran, anak dihadapkan pada sumber yang
membangkitkan kesadaran matematisnya dan mulai mengkonstruksi pengetahuan
matematis. Guru menyampaikan contoh-contoh atau kasus-kasus khusus menjadi
sumber untuk membangkitkan kesadaran siswa dan siswa melakukan pengamatan
secara hati-hati terhadap contoh atau kasus khusus yang diamati.
c. Fase diskusi kelas
Ada kelemahan jika pembelajaran di kelas hanya
dengan belajar secara individu. Kelemahan tersebut misalnya kurang terjadi
interaksi antar siswa atau antara guru dan siswa. Kemp (1994: 156) berpendapat
bahwa dalam pembelajaran perlu direncanakan kegiatan kelompok. Apabila hanya
dipakai metode satu jalur, misalnya hanya kerja mandiri, kegiatan belajar bisa
membosankan dan tidak menarik. Kemp (1994: 151) juga berbendapat bahwa
akhir-akhir ini terdapat kecenderungan mengurangi waktu untuk pola penyajian
materi pembelajaran, lebih menyukai pola belajar mandiri dalam kegiatan
kelompok.
Berdasar pendapat Kemp (1994) dapat disinyalir bahwa
kegiatan belajar siswa secara individu dapat diperkuat melalui interaksi
sosial, misalnya diskusi kelompok. Pertemuan kelompok kecil ini dapat dipakai
untuk mengecek kepahaman siswa tentang konsep dan asas yang telah mereka
peroleh sebelumnya (Kemp, 1994: 167). Dalam fase kegiatan induktif siswa diberi
kesempatan berdiskusi dengan teman sebangkunya atau diskusi dalam kelompok
dengan beberapa teman didekatnya. Dalam diskusi ini siswa berinteraksi satu
dengan lainnya dan bertukar pemikiran dan pengalaman dalam rangka mengkonstruk
pengetahuan secara individu.
Dalam fase diskusi kelas ini guru memimpin diskusi
dalam rangka memperoleh kesimpulan atau kesepakatan terhadap hasil-hasil
konstruksi pengetahuan matematis awal siswa. Hasil dikonstruksi pengetahuan
matematis siswa mungkin berbeda-beda bergantung pada pengetahuan awal
masing-masing. Beberapa siswa diminta menyampaikan hasil kerjanya secara lisan
atau tertulis. Guru memberi ulasan atau komentar, dan selanjutnya memberi
kesimpulan atau kesepakatan terhadap makna konsep yang pelajari siswa. Dengan
demikian, siswa tidak semata-mata menghafal definisi suatu konsep tetapi siswa
terlibat dalam memperoleh definisi tersebut.
d. Fase kegiatan induktif-deduktif
Dalam fase kegiatan induktif-deduktif ini siswa
diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua
kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode
induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika
sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara
sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat
umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000:
16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan
dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya
digunakan secara bergantian.
e. Fase kegiatan penutup
Pada fase kegiatan penutup ini kegiatan pembelajaran
adalah memberi kuis (tes singkat) secara individu, memberi tugas dikerjakan di
rumah, dan menutup pembelajaran. Kuis (tes singkat) berupa soal yang harus
diselesaikan siswa dalam waktu yang relatif singkat. Untuk melaksanakan kuis
diperlukan alat penilaian. Alat penilaiaannya dapat tes tertulis atau lisan.
Tujuannya untuk mengukur seberapa jauh siswa telah menguasai pengetahuan
ditinjau dari aspek pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, atau pemecahan
masalah.
Guru memberi tugas dengan memberi soal-soal yang
berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas untuk dikerjakan di rumah. Tugas
rumah diarahkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan tujuan siswa dapat lebih
memahami konsep atau struktur matematika yang dipelajari dan untuk melatih
siswa terbiasa menggunakan pola pikir induktif-dedukif dalam memecahkan
masalah. Selanjutnya guru menutup pembelajaran.
C. Penutup
Agar siswa dapat belajar matematika di sekolah
secara bermakna, siswa dituntut terampil memahami konsep-konsep matematika dari
pola pikir induktif menuju deduktif. Pembelajaran matematika beracuan
konstruktivisme dengan melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif
merupakan salah satu alternatif pembelajaran matematika yang mampu menciptakan
suasana pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Dalam pemecahan masalah siswa kadang menggunakan
pola pikir induktif, kadang deduktif, dan kadang keduanya. Dalam pemecahan
masalah kadang sulit memisahkan antara penggunaan pola pikir induktif dan
deduktif. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran matematika beracuan
konsruktivisme penggunaan pola pikir induktif dan deduktif keduanya dapat
digunakan untuk membangun misalnya suatu konsep matematika berdasar pengalaman
siswa sendiri.
Pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman
konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah dapat diawali
menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman khusus yang
dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan
matematika dengan menggunakan pola pikir induktif. Misalnya kegiatan
pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau fakta yang
teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang
mungkin, dan kemudian jika memungkinkan siswa dapat diarahkan menyusun
generalisasi secara deduktif. Secara umum dalam memecahkan masalah siswa
menggunakan pola pikir induktif-deduktif.
Salah satu alternatif sintaks pembelajaran
matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir
induktif-deduktif sebagai berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase
kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan
induktif-deduktif; dan (5) fase kegiatan penutupan.
DAFTAR PUSTAKA
Ball, D.L dan Bass, H. 2003. Making Mathematics
Reasonable in School. Jeremy Kilpatrick (Eds.): A Research Companion to
Principles and Standards for School Mathematics (halaman 27 – 44). Reston:
National Council of Teacher of Mathematics, Inc.
Bell, F.H. 1981. Teaching and Learning Mathematics
(In Secondary Schools). Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher.
Belozerov, S. 2002. Inductive and Deductive Methods
in Cognition. http://www. matrixreasoning.com/. Download tanggal 7 Desember
2002.
Clark, D. 2000. Constructivism.
http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/history/history. html. Download tanggal 25
Nopember 2006.
Clements, D.H dan Batista, M.T. 2002. Constructivist
Learning and Teaching. Donald L. Chambers (Ed.): Putting Research into Practice
in the Elementary Grades: Reading from Journal of the National Council of
Teachers of Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.
Copeland, R.W. 1974. How Children Learn Mathematics:
Teaching Implications of Peaget’s Theory. New York: Macmillan Publishing Co.
Inc.
Davis, R.B. 1990. Discovery Learning and
Constructivism. Constructivist View on the Teaching and Learning of
Mathematics. Nel Noddings (Eds.): Journal for Research in Mathematics
Educations. Monograph Number 4. (halaman 93 – 106). The National Council of
Teacher of Mathematics.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran
Matematika. Jakarta: Depdiknas.
Doolittle, P.E dan Camp, W.G. 1999. Constructivism:
The Career and Technical Education Perspective. Kirk Swortsel (Ed.): Journal of
Vocational and Technical Education. Volume 16, Number 1.
Doolittle, P.E. 2001. Integrating Constructivism and
Cognitivim. {Comment & Suggestions Welcome]. Blackburgs: Virginia
Polytechnic Institute & State University.
Dreyfus, T. 1990. Advanced Mathematical Thinking.
Mathematical and Cognition: A Research Synthesis by the International Group for
the Psychology of Mathematics Education. ICMI Studies Series. Cambridge:
Cambridge University Press.
English, L.D dan Halford, G.S. 1995. Mathematics
Educations Model and Process. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates
Publishers.
Heibert, J. 2003. What Research Says About the NCTM
Standards. Jeremy Kilpatrick (Eds.): A Research Companion to Principles and
Standards for School Mathematics (halaman 5 – 23). Reston: National Council of
Teacher of Mathematics, Inc.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan
Pembelajaran Matematika. JICA. Jakarta: IMSTEP.
Hudojo, H. 2003. Guru Matematika Kontruktivis
(Contructivist Mathematics Teacher). Makalah disajikan pada Seminar Nasional,
27-23 Maret 2003 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Hudojo, H. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran
Matematika. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press).
Jaeng, M. 2004. Pengembangan Model Pembelajaran
Matematika Sekolah dengan Cara Perseorangan dan Kelompok Kecil. Disertasi.
Tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.
Jan van den Akker. 1999. Principles and Methods of
Development Research. Dalam Plomp, T; Nieven, N; Gustafson, K; Branch, R.M; dan
van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in Education and Training.
London: Kluwer Academic Publisher.
Joyce, B dan Weil, M. 1992. Models of Teaching.
London: Prentice-Hall, Inc.
Kemp, J.E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran.
Terjemahan oleh Asril Marjohan. Judul Asli The Instructional Design Process.
Bandung: Penerbit ITB.
Khabibah, S. 2005. Pengembangan Model Pembelajaran
Open-Ended untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Tidak
dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.
Lithner, K. 2000. Mathematical Reasoning in Task
Solving. Educational Studies in Mathematics 41: 165 – 190, 2000. Netherlands:
Kluwer Academic Publisher.
Major, FT. 2005. Inductive-Deductive Structure.
http:/educ2.hku.hk/. Download: 8 Desember 2005.
Major, F.T. 2006. The Squencing of Content Inductive
and Deductive Approach. Inductive-Deductive Approach. htm. http://educ2.hku.hk/
Download: 24 Agustus 2006.
Marpaung, Y. 2003. Pembelajaran Matematika Secara
Bermakna. Disampaikan pada Seminar di SMPN-3 Karanganyar.
Marpaung, Y. 2003. Perubahan Paradigma Pembelajaran
Matematika di Sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
Matematika di Universitas Sanata Darma. Tanggal 27-28 Maret 2003. Yogyakarta:
Universitas Sanata Darma.
Maslowski, R dan Visscher, A 1999. The Potential of
Formative Evaluation in Program Design Models. Dalam Plomp, T; Nieven, N;
Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and
Tools in Education and Training. London: Kluwer Academic Publisher.
Matlin, M.W. 1998. Cognition. New York: Harcout
Brace College Publishers.
Miyazaki, M. 2000. Levels of Proof in Lower
Secondary School Mathematics. Educational Studies in Mathematics 41: 47 - 68,
2000. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
Murphy, E. 1997. Constructivist Epistemology.
Constructivism: Philosophical & Epistemological Foundation. Download. 24
Agustus 2006.
Dameus, A. Tilley, D.S, Brant, M. 2004. Teaching
Methods in Learning Agricultural Economics: A Case Study 1. NACTA Journal. Sept
2004.
NCTM. 2000. Principle and Standard for School
Mathematics. Reston: The National Council of Teacher Mathematics, Inc.
Nieveen, K. 1999. Prototyping to Reach Product
Quality . Dalam Plomp, T; Nieveen, N; Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den
Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. London:
Kluwer Academic Publisher.
Parke C.S, Lane S, Silver E.A, dan Magone M.E.
(2003). Using Assesment to Improve Midlle-Grades Mathematics Teaching &
Learning. Reston: The National Council of Teacher Mathematics, Inc.
Prince, J.P. Felder, M.F. 2006. Inducitive Teaching
and Learning Methods: Definitions, Comparations, and Research Bases. J. Engr.
Education, 95(2), 123–138 (2006).30.
Plomp, T. 1997. Educational Design: Introduction.
From Tjeerd Plomp (eds). Educational & Training System Design:
Introduction. Design of Education and Training (in Dutch). Utrecht (the
Netherlands): Lemma. Netherland. Faculty of Educational Science and Technology,
University of Twente.
Polya, G. 1973. How To Solve It. Princeton:
Princeton University Press.
Ratumanan, T.G. 2003. Pengembangan Model
Pembelajaran Interaktif dengan Setting Kooperatif (Model PISK) dan Pengaruhnya
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon. Disertasi. Tidak
dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory
and Practice. Boston: Allyn & Bacon.
Sa’dijah, Ch. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran
Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Disertasi. Tidak
dipublikasikan. Surabaya: Program Pasca Sarjana UNESA.
Soedjadi, R. 2003. Pemanfaatan Realitas dan
Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika.
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di
Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta:
Depdiknas.
Soedjadi, R. 2000b. Rancangan Pembelajaran Nilai
dalam Matematika Sekolah. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Matematika,
Pengajaran dan Problematikanya Memasuki Milenium III, di FMIPA UNNES Semarang,
12 Agustus 2000.
Solso, R.L. 1995. Cognitive Psychology. Boston:
Allyn and Baccon.
Steffe, L.P. 1996. Intersubyectivity in Mathematics
Learning: A Challenge to the Radical Constructivist Paradigm? A Replay to
Lerman [1]. http: S13a. math.aca.mmu.ac.uk/. Download: 5 Juni 2000.
Stiff, L.V; Johnson, J.L; dan Johnson, M.R. 1993.
Cognitive Issues In Mathematics Education. Patricia S. Wilson (Ed.), Research
Ideas For The Classroom: High School Mathematics (halaman 3 – 20). New York:
Macmillan Publishing Company.
Suharta, I.G.P. 2004. Pembelajaran Pecahan di
Sekolah Dasar dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi.
Tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.
Suwarsono. 1999. Problematika Pendidikan Matematika
di Indonesia. Tulisan dimaksudkan sebagai sebuah pengantar untuk matakuliah
“Penelitian Lanjut” pada Program S3 Pendidikan Matematika, Universitas Negeri
Surabaya, September 1999.
Recio, A.M dan Godino, J.D. 2002. Institutional and
Personal Meanings of Mathematical Proof. Educational Studies Mathemathics 48:
83 – 99. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
Taylor, L. 1993. Vygotskian Influence in Mathematics
Education, with Particular Reference to Attitude Development. Focus on Learning
Problems in Mathematics. Spring & Summer Edition. Volume 15, Numbers 2
& 3. (halaman 3-16). Center for Teaching/Learning of Mathematics.
Von Glaserfeld, E. 2006. An Exposition of
Constructivism: Why Some Like it Radical. Internet on line. Massachusetts:
Scientific Reasoning Research InstituteUniversity of Massachusetts
Von. Glassersfeld, E. 1984. An Introduction to
Radical Constructivism. Author’s translation in P. Watzwalick (Ed), The
Invented Reality. Newyork: Norton, 1984. Originally published P. Watzlawick
(Ed), Die Erfundene Wirklichkeit. Munich: Piper, 1981. Erns von Glasersfeld, on
line paper, html. Download, 24 Agustus 2006.
Wilson, B., Teslow, J.L., Taylor, L. 1993.
Instructional Design Perspectives on Mathematics Education With Reference to
Vygotsky’s Theory of Social Cognition. Focus on Learning Problems in
Mathematics. Spring & Summer Editions. Volume 15, Numbers 2 & 3.
(halaman 65 – 85). Center for Teaching/Learning of Mathematics.
Yackel, E. Cobb, P. Wood, T. Merkel, G. 2002.
Experience, Problem Solving, and Discourse as central Aspect of Constructivism.
Cambers, D (Eds). Putting research into Practice in the Elementary Grades.
Reading from Journals of the National Council
0 komentar:
Posting Komentar